Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, bahan pelajaran, dan cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan. Tujuan tersebut meliputi tujuan pendidikan nasional serta
kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan
pendidikan dan peserta didik. Oleh karena itu, kurikulum disusun oleh
satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan
dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk
menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional
pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan
penilaian pendidikan. Dua dari delapan standar nasional pendidikan
tersebut, yaitu standar isi (SI) dan standar kompetensi lulusan (SKL)
merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan
kurikulum.
Penyelenggaraan pendidikan di SMA Kolese De Britto
dinilai berhasil apabila kegiatan belajar mampu membentuk pola tingkah
laku siswa sesuai dengan visi dan misi kolese dan dapat dievaluasi
melalui pengukuran dengan menggunakan tes dan nontes. Proses
pembelajaran akan efektif apabila dilakukan melalui persiapan yang cukup
dan terencana dengan baik supaya dapat diterima untuk:
1. memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dan masyarakat global.
2. mempersiapkan siswa dalam menghadapi perkembangan dunia global.
3. membekali siswa dalam melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Tanggung jawab pelaksanaan kegiatan pendidikan dan
pengajaran di SMA Kolese De Britto dikoordinasi oleh wakasek urusan
kurikulum. Wakasek urusan kurikulum diangkat oleh yayasan untuk membantu
kepala sekolah dalam merencanakan dan mengkoordinasikan pelaksanaan
program kurikulum integral. Bidang kegiatan yang dikoordinasi wakasek
urusan kurikulum adalah implementasi paradigma pedagogi Ignasian (PPI),
pengembangan kurikulum, laboratorium, perpustakaan, audio visual, dan
guru piket.
Paradigma Pedadogi Ignasian
SMA Kolese De Britto menerapkan Paradigma Pedagogi Ignasian dalam
mendidik siswa untuk mengembangkan belajar mandiri sehingga siswa mampu
mencari dan mencerna informasi yang diperlukan dan membiasakan diri
untuk proses belajar seumur hidup.
Pedagogi Ignasian ialah cara para pengajar mendampingi siswa dalam
pertumbuhan dan perkembangan pembentukannya, yang dilandasi
spiritualitas Santo Ignatius. Pedagogi meliputi pandangan hidup dan visi
dari berbagai ideal manusia untuk dididik. Pedagogi juga memberikan
kriteria pilihan sarana untuk dipakai dalam proses pendidikan. Oleh
karena itu, pedagogi ini tidak boleh direduksi menjadi metodologi
semata-mata.
Secara sempit, paradigma ini merupakan sebuah alat yang praktis dan
sebuah perangkat yang efektif untuk meningkatkan kinerja guru dan siswa
dalam proses kegiatan belajar mengajar. Secara luas, paradigma ini
merupakan cara bertindak yang membantu siswa berkembang menjadi manusia
yang berkompeten, bertanggung jawab, dan berbelas kasih.
Dengan demikian, Paradigma Pedagogi Ignasian sebenarnya merupakan
dinamika pengajaran, yang diharapkan dapat diterapkan untuk mencapai
pendidikan yang semakin berkualitas tinggi, sesuai dengan visinya.
Paradigma di sini meliputi corak dan proses tertentu dalam mengajar,
yang berarti pengisian pendekatan terhadap nilai belajar dan pertumbuhan
dalam kurikulum yang berlaku.
Dinamika Paradigma Pedagogi Ignasian
Dalam proses pengajaran, dinamika paradigma ini mecakup lima
langkah pokok, yaitu: konteks, pengalaman, refleksi, aksi, dan
evaluasi.
KONTEKS
Proses pendidikan tidak pernah bergerak dari ruang hampa. Oleh
karena itu, pengalaman manusiawi harus menjadi titik tolaknya. Pemahaman
konteks merupakan bentuk kongkrit perhatian dan kepedulian terhadap
siswa. Perhatian dan kepedulian ini merupakan dua hal pokok sebagai awal
untuk melangkah.
“Apa yang harus diketahui para guru agar siswa-siswanya dapat
belajar dengan baik ?” Pertanyaan seperti itu kiranya tepat mengenai
inti pengertian konteks dalam pedagogi ini. Tentu saja pertanyaan itu
menyangkut di luar pemahaman materi ajar. Pertanyaan tersebut menyangkut
pengetahuan guru mengenai karakter siswa dan kondisi lingkungan yang
melingkupinya. Beberapa konteks yang perlu dipertimbangkan oleh guru :
• Konteks kehidupan siswa yang yang meliputi cara hidup keluarga,
teman-teman, kelompok sebaya, keadaan sosial-ekonomi, kesenangan, atau
yang lain yang berdampak menguntungkan atau merugikan siswa.
• Konteks sosio-ekonomi, politik, kebudayaan, kebiasaan kaum muda,
agama, media massa, dan lain-lain merupakan lingkungan hidup siswa yang
dapat mempengaruhi perkembangan siswa dalam hubungannya dengan orang
lain.
• Situasi sekolah tempat proses belajar mengajar terjadi.
Keberhasilan proses pendidikan sangat dipengaruhi oleh situasi sekolah
yang bersifat kondusif. Sekolah seharusnya merupakan tempat orang
dipercaya, diperhatikan, dihargai, dan diperlakukan secara jujur dan
adil.
• Pengertian-pengertian yang dibawa siswa ketika memulai proses
belajar. Pengertian dan pemahaman yang mereka peroleh dari studi
sebelumnya atau dari lingkungan hidup mereka merupakan konteks belajar
yang harus diperhatikan.
Pemahaman konteks itu sangat membantu para guru dalam menciptakan
hubungan yang dicirikan oleh autentisitas dan kebenaran. Kalau suasana
saling mempercayai dan saling menghargai terjadi, siswa akan mengalami
bahwa orang lain merupakan teman sejati dalam proses belajar. Dalam
suasana seperti itulah proses belajar akan berjalan lancar sekaligus
berkualitas.
PENGALAMAN
Pengalaman berarti “mengenyam sesuatu dalam batin”. Ini mengandaikan
adanya fakta dan pengertian-pengertian. Ini juga menuntut seseorang
menduga kejadian-kejadian, menganalisis, dan menilai ide-ide. Hanya
dengan pemahaman yang tepat terhadap apa yang dipertimbangkan, orang
dapat maju sampai menghargai arti pengalaman. Pemahaman tidak hanya
terbatas pada aspek intelektual, tetapi mencakup keseluruhan pribadi,
budi, perasaan, dan kemauan masuk ke pengalaman belajar. Dalam
pengalaman itu tercakup ranah kognitif dan afektif sekaligus. Kegiatan
belajar yang hanya menekankan pemahaman intelektual, tanpa disertai
dengan perasaan batin, tidak akan mendorong orang untuk bertindak. Oleh
karena itu, istilah pengalaman dipakai untuk mencirikan setiap kegiatan
yang di dalamnya tercakup pemahaman kognitif dan afektif sekaligus dari
materi yang dipelajari.
Pengalaman dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Pengalaman
kognitif saja kurang dapat menimbulkan rasa belas kasih secara optimal.
Lain halnya dengan pengalaman langsung karena di dalamnya orang
mengalami keterlibatan secara keseluruhan, yaitu pikiran dan perasaan.
Pengalaman langsung dalam proses belajar mengajar dapat terjadi melalui
percobaan, diskusi, penelitian, proyek pelayanan, dan sebagainya.
Sementara itu, pengalaman tidak langsung dapat terjadi melalui membaca
dan mendengarkan. Agar proses belajar menjadi efektif, perlulah adanya
usaha menciptakan pengalaman langsung tersebut. Usaha itu misalnya dapat
ditempuh melalui role playing, pemakaian audio visual, dan sebagainya.
REFLEKSI
Refleksi merupakan suatu kegiatan dengan menyimak kembali secara
intensif terhadap pengalaman belajar, antara lain materi pelajaran,
pengalaman, ide-ide, usul-usul, atau reaksi spontan agar dapat memahami
dan menangkap maknanya secara lebih mendalam.
Dalam refleksi diusahakan siswa menangkap nilai yang dipelajari. Untuk mencapai hal itu, dapat dilakukan hal-hal berikut.
• Memahami hal yang dipelajari secara lebih baik dan mendalam, dengan
pertanyaan misalnya:“Apakah yang disajikan dalam buku cukup sahih atau
jujur ?”
• Mengerti sumber-sumber perasaan dan reaksi yang dialami siswa dalam
renungan ini, misalnya: “Apakah yang paling menarik dari cerpen yang
saya baca ini ?”, “Mengapa saya merasa iba terhadap tokoh yang satu ini
dan merasa benci terhadap tokoh yang lain ?”
• Mendalami implikasi bagi diri sendiri, bagi orang lain, atau bagi
masyarakat, misalnya: ”Apa gunanya hal ini bagi diri saya, bagi
keluarga, tetangga, atau masyarakat pada umumnya ?”
• Mendapatkan pengertian pribadi tentang kejadian-kejadian, ide-ide,
kebenaran, atau pemutarbalikan kebenaran, dan sebagainya, misalnya:
“Apakah cara hidup saya sesuai dengan kepentingan yang lain ?”, “Apakah
saya sanggup memikirkan kembali apa yang sebetulnya saya butuhkan untuk
hidup bahagia ?”
• Memulai lebih mengerti atau memahami diri sendiri, misalnya: “Refleksi ini menimbulkan perasaan apa dalam diri saya ?”
Siswa diberi kebebasan untuk berefleksi. Ada kemungkinan siswa yang
telah berefleksi tidak menunjukkan perubahan ke arah perkembangan. Hal
ini bisa terjadi karena siswa baru dalam taraf perkembangan untuk
menjadi lebih dewasa. Akan tetapi, yang penting guru sudah menanamkan
“benih” kehidupan ke dalam diri siswa dan benih itu pasti akan tumbuh
pada saatnya.
AKSI
Paradigma Pedagogi Ignasian tidak hanya berhenti pada refleksi,
tetapi justru dari refleksi itu diharapkan siswa terdorong untuk
mengambil keputusan atau komitmen dan kemudian melaksanakannya. Refleksi
akan menjadi mentah kalau hanya menghasilkan pemahaman dan
reaksi-reaksi afektif. Refleksi yang bermula dari pengalaman harus
berakhir pada realitas pengalaman yang baru dalam wujud pengambilan
sikap atau tindakan. Perwujudan pengalaman baru inilah yang disebut
aksi.
Dalam istilah aksi ini terkandung pemahaman, keyakinan, dan
keputusan untuk melakukan komitmen atau melakukan suatu tindakan. Dengan
demikian, tindakan yang dilakukan berangkat dari keprihatinan atau
kesadaran akan pentingnya mengambil tindakan, bukan bertindak sekedar
luapan emosi, terhasut atau ikut-ikutan belaka.
Ada dua macam pilihan untuk beraksi. Pertama, pilihan batin,
misalnya setelah berefleksi siswa menyadari bahwa Tuhan selalu berkarya
dalam hidupnya. Untuk itu dalam segala kebehasilan dan kegagalannya, ia
akan kembali kepada Tuhan untuk bersyukur atau memohon kepada-Nya.
Kedua, pilihan lahiriah, misalnya setelah berefleksi siswa menyadari
bahwa hasil belajarnya tidak baik atau gagal karena cara belajarnya yang
tidak pas, maka ia akan mengubah cara belajarnya untuk menghindari
kegalalan lagi.
EVALUASI
Evaluasi mencakup dua hal, yaitu menilai kemajuan akademis dan
menilai kemajuan pembentukan pribadi siswa secara menyeluruh. Tes,
ulangan, atau ujian merupakan alat evaluasi untuk menilai atau mengukur
seberapa jauh pengetahuan sudah dikuasai dan keterampilan sudah
diperoleh. Evaluasi secara berkala mendorong guru dan siswa untuk lebih
memperhatikan pertumbuhan intelektual dan mengetahui
kekurangan-kekurangan yang perlu segera ditangani. Akan tetapi, yang
harus diperhatikan adalah bahwa dalam evaluasi ini perhatian tidak hanya
tercurah pada kemampuan penyerapan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari
proses pengajaran, tetapi harus mencakup perkembangan secara
menyeluruh, yaitu perhatian kepada sejauh mana siswa berkembang sebagai
pribadi yang mengarah menjadi manusia bagi orang lain.
Untuk mengetahui perkembangan pribadi, guru dapat melakukannya
dengan mengadakan hubungan dialogal, angket, atau melalui pengamatan
terhadap perilaku para siswa. Dalam evaluasi ini guru perlu
memperhatikan umur, bakat, kemampuan, dan tingkat kedewasaan setiap
siswa.